Istri Rasul Dari Yahudi

Rasul Ulul Azmi dan Mukjizatnya

Dalam membuktikan kenabian yang diterima para nabi dan rasul kepada orang yang meragukannya, Allah SWT memberikan mereka sejumlah mukjizat.

Berikut mukjizat yang dimiliki para rasul ulul azmi, mengutip buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir dan buku Menguak Rahasia Kehebatan Para Kekasih Allah oleh M. Nawawi:

Nama lengkapnya adalah Nuh bin Lamik bin Matwasyalakh bin Khanukh (Nabi Idris AS) bin Yarad bin Mahlayil bin Qanin bin Anwasy bin Syits bin Adam AS (bapak manusia). Menurut banyak ulama, Nabi Nuh lahir 126 tahun setelah Adam AS wafat.

Setelah Nuh AS diutus kepada kaumnya, tetapi hanya sedikit dari mereka yang beriman. Sehingga Allah SWT menyuruh Nabi Nuh untuk membuat kapal besar untuk menghadapi banjir bandang yang merupakan salah satu mukjizatnya.

Ibrahim AS masih merupakan keturunan dari Nabi Nuh, dari anaknya Sam. Nabi Ibrahim memiliki dua istri dan dua anak. Dari istrinya Sarah memiliki putra yakni Nabi Ishaq AS, dan dari Hajar mempunyai anak yaitu Nabi Ismail AS. Juga Ibrahim AS diberi julukan bapaknya para nabi atau abul anbiya.

Di antara mukjizat yang dimiliki Nabi Ibrahim ketika masa dakwahnya yakni jari yang mengeluarkan susu dan madu, selamat dari kobaran api, dan serangan nyamuk kepada Raja Namrud.

Nabi Musa merupakan keturunan Ibrahim AS dari anaknya Ishaq AS. Musa AS adalah salah satu utusan yang Allah SWT tugaskan kepada Bani Israil untuk mengajak mereka beriman dan menyembah-Nya.

Di antara mukjizat Nabi Musa yaitu berbicara langsung dengan Allah SWT seperti dalam Surat Al-Baqarah ayat 253, tongkat yang dapat berubah menjadi ular besar, membelah Laut Merah, tangan memancarkan cahaya, dan terangkatnya Gunung Sinai.

Merupakan seorang nabi yang dilahirkan tanpa seorang bapak. Sementara ibunya adalah Maryam, seorang wanita sholehah yang Allah SWT muliakan. Mukjizat yang Dia berikan kepada Isa AS di antaranya yakni bisa berbicara selagi masih bayi, mampu membuat burung asli dari tanah liat, menyembuhkan penyakit kulit, dan menghidupkan orang mati atas seizin Allah SWT.

Merupakan nabi dan rasul terakhir yang Allah SWT utus untuk menyempurnakan ajaran-Nya. Bapaknya bernama Abdullah dan ibunya Aminah, serta beliau masih keturunan Ibrahim AS.

Di antara mukjizat yang dimiliki Rasulullah SAW yaitu, diwahyukan Al-Qur'an kepadanya, membelah bulan, air memancar dari jari-jarinya, perjalanan Isra Mi'raj, dan banyak mukjizat lainnya.

%PDF-1.6 %âãÏÓ 1377 0 obj <> endobj xref 1377 27 0000000016 00000 n 0000003050 00000 n 0000003267 00000 n 0000003640 00000 n 0000003820 00000 n 0000004188 00000 n 0000004356 00000 n 0000004590 00000 n 0000005064 00000 n 0000005122 00000 n 0000006683 00000 n 0000006856 00000 n 0000007095 00000 n 0000007427 00000 n 0000007489 00000 n 0000007999 00000 n 0000008164 00000 n 0000008211 00000 n 0000008587 00000 n 0000008643 00000 n 0000009058 00000 n 0000036555 00000 n 0000253493 00000 n 0000253732 00000 n 0000254036 00000 n 0000002841 00000 n 0000000875 00000 n trailer <]>> startxref 0 %%EOF 1403 0 obj <>stream “«~ ;âŒã w«Eq«ÏmÖÁš^dRÌ%ÄÛXßÉ­µÓ¼Œ:P]!’zìÑ˲û“HÁ¶ ÏMs£½f³Éµ-°_X‚Z¬ÙÝ¥öl\G¶æ–ó4/Äòµø÷2?¼v³è\�²ÌH4¹�ZI¬¿ÿü7.�l;)ïô~¢oÁšÍ8ñ$#Å¿4ên 0ä²€

1. Pada dasarnya, istri dapat melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan dari suami. Hal ini terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):

Pasal 31 UU Perkawinan

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Oleh karena itu, istri berhak untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hubungan hukum (dalam hal ini, hubungan kerja) dengan perusahaan tempatnya bekerja tanpa persetujuan dari suami. Sehingga, secara hukum suami tidak berhak meminta pada perusahaan tempat istrinya bekerja untuk tidak mempekerjakan istrinya lagi.

Selain itu, ini didasarkan pula pada prinsip bahwa hubungan kerja itu sendiri terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja (Pasal 50 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sehingga sebagaimana pada perjanjian pada umumnya, yang dapat mengakhiri perjanjian adalah para pihak dalam perjanjian dengan persetujuan keduanya (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan).

Selain itu, dapat dilihat pula dari Pasal 151 dan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan bahwa yang dapat mengakhiri hubungan kerja adalah perusahaan dan pekerja itu sendiri (dengan kesepakatan keduanya).

Pada sisi lain, dalam hal ini istri maupun suami perlu mengingat kembali bahwa pada dasarnya perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (Pasal 1 UU Perkawinan). Suami dan istri mempunyai kewajiban untuk saling menghormati (Pasal 33 UU Perkawinan). Adalah kewajiban suami untuk melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya, serta isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya (Pasal 34 UU Perkawinan).

Berdasarkan hal-hal tersebut, walaupun secara hukum kedudukan suami dan istri sama dan keduanya berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, akan tetapi akan lebih baik jika suami dan istri membicarakan secara baik-baik perihal apakah lebih baik istri bekerja atau tidak. Ini sekaligus untuk mempertimbangkan apakah dengan bekerjanya si istri, istri dapat tetap melaksanakan kewajibannya mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, serta bersama suami membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Hak Asuh Ketika Ibunya Bersuami Lagi?, hukum mewajibkan orang tua (ayah dan ibu) untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Orang tua berkewajiban pula untuk menumbuhkembangkan anak sesuai bakat dan kemampuannya. Kalau terjadi perceraian antara orang tua, kewajiban untuk mengasuh dan menumbuhkembangkan anak tidak hilang dengan sendirinya. Dalam Pasal 41 huruf a UU Perkawinan, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.

Dalam UU Perkawinan sendiri tidak ditentukan siapa yang akan memperoleh hak asuh anak dalam hal terjadi perceraian. Pasal 41 huruf a UU Perkawinan memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan keputusan dalam hal terjadi perselisihan atas hak asuk anak-anak.

Pasal 41 huruf a UU Perkawinan

“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya”

Akan tetapi, pada umumnya hak asuh atas anak di bawah umur diberikan kepada istri. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Suami Tidak Berikan Nafkah 8 Tahun, Bisakah Menggugat Cerai?, perihal siapa yang berhak mengasuh, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1968 dalam perkara: Tjiioe Tiang Hin melawan Kwee Poey Tjoe Nio, dinyatakan,

“Dalam hal terjadi perceraian, anak-anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dan perawatan ibu, perwaliannya patut diserahkan kepada ibunya.”

Apabila agama istri dan suami adalah Islam, maka berdasarkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya. Dalam Pasal 105 KHI dikatakan pula bahwa dalam hal terjadi perceraian, biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh suami.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3.    Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

4.    Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

Perdebatan di kalangan para peneliti sejarah mengenai siapa sebenarnya putra Nabiyullah Ibrahim Alaihi salam yang disembelih menarik untuk disimak. Apakah Nabi Ismail Alaihi salam yang merupakan kakek moyang Bangsa Arab ataukah Nabi Ishaq Alaihi salam yang merupakan kakek moyang bangsa Yahudi?

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengenai ibadah qurban termaktub dalam Al-Quran surah As-Shaffat [37] ayat 99-111, yaitu:

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (٩٩) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (١٠٠) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ (١٠١) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (١٠٢) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (١٠٤) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ (١٠٨) سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (١٠٩) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١١٠) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (١١١) (الصفّت [٣٧] : ٩٩ــــ١١١

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.(99) Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100) Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (101). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (102) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). (103)Dan Kami panggillah dia, “Hai Ibrahim (104), sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, “sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (105) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (106)Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (107)Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (yaitu). (108)Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. (109) Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (110) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. (111)”.

Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Isma’il Al-Fatani dalam kitab Misbahul Munir menjelaskan maksud anak yang sabar pada ayat:{فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ} “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar” adalah Ismail Alaihi salam yang lahir dari seorang wanita shalihah, istri Nabi Ibrahim Alaihi salam, bernama Hajar.

Di antara sahabat yang berpendapat bahwa yang disembelih ialah Ismail antara lain Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, dan Abu at-Thufail ‘Amir bin Watsilah. Dari kalangan tabiin antara lain Sa’id bin al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan al-Bashri. Kalangan mufasir yang mendukung pendapat ini ialah Wahbah az-Zuhaili, Ar-Razi, At-Thabrisi, Thabathabai, Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Thabathabai, An-Nasafi, Sa’id Hawa’, Thahir ibnu ‘Asyur.

Menurut Sheikh Dr Mustafa Murad, guru besar Universitas Al Azhar, dalam bukunya Zaujatul Ambiya, Hajar pada awalnya merupakan budak yang membantu Sarah, istri Nabi Ibrahim Alaihi salam yang pertama. Hajar lah yang menemani Nabi Ibrahim Alaihi salam dalam perjalanan panjang dari Palestina menuju Makkah.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Menurut kaum Ahli Kitab, disebutkan di dalam nas kitab-kitab mereka bahwa ketika Ibrahim Alaihi salam mempunyai anak, Ismail, ia berusia 86 tahun dan ketika beliau mempunyai anak Ishaq dari istrinya Sarah, beliau berusia 99 tahun. Jadi selisih umur Ismail Alaihi salam dan Ishaq Alaihi salam adalah 13 tahun. Kaum Ahli Kitab mengakui bahwa Nabi Ibrahim Alaihi salam diperintahkan untuk menyembelih anak tunggalnya, atau dalam salinan kitab yang lain disebutkan anak pertamanya.

Akan tetapi, orang-orang Yahudi mengubahnya dan membuat-buat kedustaan dalam keterangan ini, lalu mengganti dengan Ishaq Alaihi salam. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan nas kitab asli mereka. Sesungguhnya mereka menyusupkan penggantian dengan memasukkan Ishaq Alaihi salam sebagai ganti Ismail Alaihi salam karena bapak moyang mereka adalah Ishaq Alaihi salam, sedangkan Ismail Alaihi salam adalah bapak moyang bangsa Arab. Kebiasaan orang Yahudi mengubah ayat-ayat kitabullah dan berdusta disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Quran, antara lain:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُۥنَ أَلْسِنَتَهُم بِٱلْكِتَٰبِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمَا هُوَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (ال عمران [٣]: ٧٨)

“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran [3]: 78)

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ يُحَرِّفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَٱسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَٰعِنَا لَيًّۢا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِى ٱلدِّينِ ۚ…. (النساء[٤]: ٤٦)

“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): “Dengarlah” sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama…..” (QS. An-Nisa [4]: 46)

فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَٰقَهُمْ لَعَنَّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَٰسِيَةً ۖ يُحَرِّفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ ۙ وَنَسُوا۟ حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ ۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٍ مِّنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۖ…. (المائدة[٥]: ١٣)

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat),…” (QS. Al-Maidah [5]: 13)

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Orang-orang Yahudi dengki dan iri hati kepada bangsa Arab, karena itu mereka menambah-nambahinya dan menyelewengkan pengertian anak tunggal dengan “anak yang ada di sisimu”. Alasannya karena Ismail Alaihi salam telah dibawa pergi oleh Ibrahim Alaihi salam bersama ibunya ke Mekah.

Takwil penyimpangan seperti ini merupakan hal yang batil, karena sesungguhnya pengertian anak tunggal itu adalah anak yang semata wayang bagi Nabi Ibrahim Alaihi salam. Lagi pula, secara manusiawi, anak pertama merupakan anak yang paling disayang lebih dari anak yang lahir sesudahnya, maka perintah untuk menyembelih­nya merupakan ujian dan cobaan yang sangat berat.

Ibnu Katsir menyebutkan, sejumlah ahlul ‘ilmi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq Alaihi salam, menurut apa yang telah diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf; sehingga ada yang menukilnya dari sebagian sahabat. Tetapi hal tersebut bukan bersumber dari Kitabullah, bukan pula dari Sunnah. Dapat dipastikan bahwa hal tersebut tidaklah diterima, melainkan dari ulama Ahli Kitab, lalu diterima oleh orang Muslim tanpa alasan yang kuat.

Karena Al-Quran telah menyebutkan berita gembira bagi Nabi Ibrahim Alaihi salam akan kelahiran seorang putra yang penyabar dan menyebutkan pula bahwa putranya itulah Az-Zabih (yang disembelih), maka jelaslah bahwa yang dimaksud adalah Ismail Alaihi salam, bukan Ishaq Alaihi salam.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Sementara itu, kalangan Syiah menganggap bahwa orang yang menyebarkan berita kebohongan mengenai hal itu adalah seorang Bernama Ka’ab Al-Ahbar. Ia adalah seorang anak Yahudi yang dipercaya memberi fatwa kepada umat Islam di masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan.

Sahabat Abu Dzar al-Ghifari yang masih hidup semasa itu sempat sangat marah kepada Ka’ab. Abu Dzar pernah memukul Ka’ab dengan tongkat yang dibawanya sambil berkata: “Hai anak dari wanita Yahudi! Apakah engkau ingin mengajari kami tentang agama kami?”

Pada masa pemerintahan Mu’awiyyah, Ka’ab juga dipercaya untuk menjadi pembesar di Damaskus. Dari jabatannya itu, ia membuat-buat cerita dusta tentang keunggulan kota Damaskus serta para penghuninya lebih unggul dari kota lain atau provinsi lain sehingga timbul kebanggaan orang-orang Damaskus dan muncul perasaan kagum orang-orang yang tidak bermukim di kota itu.

Berita gembira kelahiran Ismail Alaihi salam disebutkan dengan menggunakan diksi ghulām halīm (anak sabar), sifat ini sangat cocok bagi orang yang mentaati perintah Tuhannya, membenarkan mimpi bapaknya, tidak marah dan tidak membangkang. Tokoh ini tak lain adalah Ismail Alaihi salam. Adapun berita gembira kelahiran Ishaq disebutkan dengan diksi  ghulām alīm (anak pintar), bahwa Nabi Ishak Alaihi salam akan menjadi seorang ulama di masa dewasanya (Tafsir At-Thabari, 8/7626).

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Dalam ayat lainnya, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلْوَعْدِ (Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya) dalam surah Maryam [19]: 54) merupakan sifat yang menonjol pada diri Nabi Ismail Alaihi salam, sekalipun sifat itu bisa saja tampak pada diri orang lain. Namun, semua ahli sejarah sepakat bahwa sifat mulia itu tersemat pada diri Ismail Alaihi salam  yang tulus dalam berjanji dan menunaikannya.

Adapun janji Ismail Alaihi salam yang telah dilaksanakannya dengan benar. Ia telah menyerahkan diri untuk jadi qurban, tanpa ragu-ragu dan bimbang. Makanya ia berhak untuk mendapat keistimewaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai seorang yang benar janjinya.

Buah dari kesabaran atas ujian itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantinya dengan hewan sebagai qurban, dan menyelamatkan Ismail dari rencana untuk disembelih, lalu Ibrahim diberi putera lainnya : وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ (Dan kami beri Ibrahim Ishaq).

Dalam buku Zādul Ma’ād karya Ibnu Qayyim Al-Jauzi dan beberapa referensi lainnya menyimpulkan bahwa yang jadi qurban itu Ismail Alaihi salam. Demikian pula pendapat sebelumnya yang diperkuat hadits  riwayat al-Hakim dari Muawiyah bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam tidak menyangkal denga gelar yang diberikan orang-orang yang menyebutnya ‘ Ibn al-Zabīhīn” (anak keturunan korban). Sebagaimana diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan darinya, bahwa beliau bersabda:  أَنَا ابْنُ الذَّبِيْحَيْنِ  “Saya adalah putra dua orang yang dikorbankan.” Dalam hadits riwayat Al-Hakim, yang dimaksud dua orang yang dikorbankan adalah; Pertama, Abdullah bin Abdul Muttalib, yang ketika itu Abdul Muttalib bernazar akan menyembelih putranya yang kesepuluh jika ia memiliki anak lelaki. Namun atas saran masyarakat Makkah, Abdullah tidak jadi disembelih dan sebagai gantinya, Abdul Muttalib menyembelih seratus ekor unta.

Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah

Kedua, adalah Nabi Ismail Alaihi salam yang merupakan kakek moyang Nabi Muhammad Shallallahu alaihi salam dan bangsa Arab dari jalur Adnan. Menurut Ibnu Katsir, hadits tersebut kedudukannya Gharib sekali, sementara ulama lain mengatakan shahih.

Untuk memastikan bahwa putra Ibrahim Alaihi salam yang disembelih adalah Ismail Alaihi salam, Ibnu Katsir dalam tafsirnya membuat judul “Atsar-atsar yang bersumber dari ulama salaf tentang siapa yang disembelih”.

Setelah menjelaskan kelemahan-kelemahan dari pendapat yang mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq Alaihi salam, yang ternyata sanad-sanadnya dhaif, bahkan ada yang matruk (perawinya bohong) dan munkar (tidak diterima), Ibnu Katsir kemudian membuat judul selanjutnya :”Atsar-atsar yang menyebutkan bahwa yang disembelih adalah Ismail Alaihi salam” yang derajatnya adalah shahih dan dapat dijadikan pegangan pasti.

Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat dari Ibu Abbas: “Bahwa yang disembelih adalah Ismail Alaihi salam. Sementara orang Yahudi yang mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq Alaihi salam sesungguhnya mereka telah berdusta.”

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah

Israil (seorang ahli hadits) meriwayatkan dari Saur, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ismail Alaihi salam. Ibnu Najih meriwayatkan dari Mujahid bahwa dia (yang disembelih) adalah Ismail Alaihi salam. Hal yang sama juga dikatakan oleh Yusuf bin Mahran. As-Sya’bi mengatakan bahwa yang disembelih adalah Ismail Alaihi salam dan dia pernah melihat sepasang tanduk gibasy (domba) di dalam Ka’bah.

Muhammad bin Ishaq telah meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, ia tidak pernah meragukan masalah ini bahwa anak yang diperintahkan Allah agar disembelih oleh Ibrahim Alaihi salam di antara salah satu dari anaknya adalah Ismail Alaihi salam.

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Muhammad bin Ka’ab ada bersamanya di Syam Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah. Ia berkata: “Sesungguhnya berita ini merupakan berita yang belum aku perhatikan dan sesungguhnya aku hanya berpendapat seperti apa yang engkau katakan.”

Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz memanggil seorang laki-laki Yahudi dari kalangan ulama mereka yang sudah memeluk Islam dan berbuat baik dalam keislamannya. Lalu, Umar bin Abdul Aziz bertanya kepadanya: “Manakah di antara kedua putra Ibrahim Alaihi salam yang diperintahkan untuk disembelih?” Laki-laki itu menjawab: “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang-orang Yahudi benar-benar tahu tentang hal tersebut, tetapi mereka dengki terhadap kalian, Bangsa Arab jikalau bapak kalian yang dimaksudkan dalam perintah Allah serta keutamaan yang dimiliki Ismail Alaihi salam berkat kesabarannya. Mereka berbalik mengingkari hal tersebut dan menganggap bahwa yang disembelih adalah Ishaq Alaihi salam karena ia adalah Bapak moyang mereka.” Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih tahu tentang siapa sebenarnya yang disembelih. Yang pasti, baik Ismail Alaihi salam dan Ishaq Alaihi salam, keduanya adalah hamba yang baik dan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?

Dari uraian di atas, penulis berkeyakinan bahwa yang disembelih oleh Nabi Ibrahim Alaihi salam adalah Nabi Ismail Alaihi salam, bukan Nabi Ishaq Alaihi salam, sesuai dengan fakta-fakta sejarah dan kekuatan sanad (sandaran periwayatannya).

Wallahu a’alam bis shawab. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman

Selama kurang lebih 1.500 tahun Nabi Nuh berdakwah di tengah kaumnya, tapi hanya segelintir orang yang mau mengimaninya. Realita ini membuat Nuh kecewa. Yang lebih menyakitkan lagi, putranya sendiri, Kan’an, tidak mau mengikuti ajaran ayahnya hingga akhir hayat. Sebagai anak seorang rasul yang merupakan manusia pilihan Allah, mengapa Kan’an “gagal” mendapat hidayah?

Kekecewaan Nuh terhadap kaumnya membuat dia berkeputusan untuk membinasakan mereka. Hemat Nuh, kaumnya sudah tidak bisa lagi diajak beriman. Beragam cara sudah ditempuh namun sia-sia belaka. Bahkan mereka terus melahirkan keturunan demi keturunan yang kufur. Kekafiran meregenerasi. Solusi satu-satunya adalah dengan membumihanguskan mereka agar rantai kesesatan bisa terputus. Doa Nuh ini disampaikan dalam Al-Qur’an,

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا

Artinya, “Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Nūḥ [71]:26)

Allah pun mengabulkan doa Nuh, namun tidak langsung membinasakan kaumnya, melainkan menyuruh Nuh untuk menanam pohon terlebih dulu untuk dibuat bahtera. Jarak waktu menanam sampai layak dibuat bahan perahu adalah seratus tahun. Kemudian proses pembuatan bahteranya sendiri juga 100 tahun. Allah akan mengirim banjir bah dahsyat, oleh karena itu Nuh disuruh membuat perahu dalam ukuran sangat besar untuk menampung umatnya yang beriman.

Begitu banjir bah akan tiba, Nuh segera mengumumkan kaumnya untuk naik ke bahtera. Mereka yang beriman akan percaya dan ikut. Sementara yang kufur menolak bahkan mengolok-olok, “Bagaimana mungkin cuaca kemarau seperti ini akan terjadi banjir?. Sungguh tidak masuk akal!.”

Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wan Nihāyah menyebutkan, ulama berbeda pendapat terkait jumlah orang yang mau menaiki bahtera Nuh. Ada yang menyebut 80 jiwa, ada yang mengatakan 72, ada yang berpendapat hanya 10, ada pula yang mengatakan hanya 4 jiwa (Nuh dan ketiga putranya yang beriman). Terlepas berapa yang tepat, yang jelas jumlah tersebut menunjukkan hanya segelintir orang yang mau beriman. Bayangkan, Nuh berdakwah selama 1.500 tahun. Selain manusia, bahtera juga memuat hewan berpasang-pasangan demi menjaga ekosistem (Ibnu Kastir, vol. 1, h. .261).

Saat tengah kecewa dengan kaumnya, Nuh justru harus menerima kenyataan bahwa putranya sendiri, Kan’an, tetap tidak mau beriman. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Bahkan saat banjir bah sudah menerjang, Kan’an tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia naik ke atas gunung dengan harapan bisa selamat dari amukan banjir dan badai ganas. Namun nahas, banjir begitu tinggi hingga Kan’an dan umat Nuh yang kufur terseret bencana alam mematikan itu. Episode pilu saat Nuh memanggil-manggil putranya itu disebutkan dalam Al-Qur’an,

وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya, “Nuh memanggil anaknya, sedang dia (anak itu) berada di tempat (yang jauh) terpencil, “Wahai anakku, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (Hūd [11]:42)

Benarkah Kan’an Putra Nuh?

Melihat karakter Kan’an yang tidak mencerminkan putra seorang rasul, ulama pun berbeda pendapat apakah dia benar-benar putra Nuh atau bukan. Terkait hal ini ada tiga perbedaan pandangan. Pendapat pertama mengatakan bahwa Ka’an merupakan anak biologis dari Nuh. Argumen ini didasari pada sejumlah nash Al-Qur’an yang secara eksplisit menegaskan bahwa Kan’an benar-benar anak kadung rasul kedua ini. Allah swt berfirman,

وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya, “Nuh memanggil anaknya, sedang dia (anak itu) berada di tempat (yang jauh) terpencil, “Wahai anakku, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (Hūd [11]:42)

Juga firman Allah berikut,

وَنَادٰى نُوْحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابْنِيْ مِنْ اَهْلِيْۚ وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَاَنْتَ اَحْكَمُ الْحٰكِمِيْنَ

Artinya, “Nuh memohon kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” (Hūd [11]:45)

Kedua ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa Kan’an adalah putra kandung Nuh. Hal ini ditunjukkan dengan lafadz ابْنَهٗ  dan ابْنِيْ. Keduanya merupakan bentuk susunan idhāfah (penyandaran satu lafadz pada lafadz lainnya) yang memiliki fungsi kepemilikan (lil milki). Lalu bagaimana dengan firman Allah lain yang menuturkan Kan’an bukan bagian dari keluarga Nuh. Disebutkan dalam Al-Qur’an,

قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚ

Artinya, “Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu.” (Hūd [11]:46)

Berkaitan dengan hal ini, Syekh Muhammad Sayyid ath-Thantawi dalam Tafsīr al-Washīth memberi penjelasan bahwa redaksi “bukanlah termasuk keluargamu” pada ayat di atas tidak menafikan Kan’an sebagai putra Nuh, akan tetapi menegaskan bahwa Kan’an tidak memiliki ikatan kekeluargaan berdasarkan akidah. Artinya, secara biologis ia tetap sebagai putra Nuh, tapi secara spiritual ia bukan bagian dari kaum muslimin (ath-Thantawi, 1992: vol. 7, h. 214).

Pendapat kedua menyebutkan bahwa Kan’an merupakan anak tiri Nuh dari istri yang bernama Wahilah (dalam versi lain bernama Waghilah). Argumen kedua ini didukung Muhammad bin Ali al-Baqir dan Hasan al-Bashri (ar-Razi, 1981: vol. 17, h. 240). Imad Hilali dalam Mu’jamu A’lāmin Nisā fil Qur’ān menyebut, Nuh punya dua istri, yang pertama Wahilah, seorang wanita yang tidak mau beriman sekaligus ibu dari Kan’an. Istri yang kedua (tidak diketahui namanya) adalah yang beriman. Dari istri yang kedua ini, Nuh memiliki tiga putra yang semuanya beriman. Mereka adalah Sam, Ḥam, dan Yafis (Hilali, 2010: 266).

Pendapat ketiga menyebut Ka’an merupakan anak dari hasil zina istrinya yang tidak diketahui oleh Nuh. Argumen ini banyak ditentang oleh ulama karena sangat kontroversial. Pertama karena jelas tidak sesuai dengan sejumlah nash Al-Qur’an yang sudah penulis kemukakan sebelumnya. Kedua, sangat tidak mungkin Nuh memiliki istri pendosa yang sampai melakukan perbuatan asusila seperti ini. Fakhruddin ar-Razi menyebut pendapat ini sangat berbahaya karena bisa merusak marwah seorang rasul (ar-Razi, 1981: vol. 17, h. 240). Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa penafsiran demikian banyak dikecam oleh para ulama (Ibnu Katsir, 2007: vol 7, h. 444).

Mengapa Enggan Beriman?

Sebagai putra kandungnya, tentu Nuh sangat bersedih Kan’an tidak mau beriman hingga akhir hayatnya. Padahal sang ayah sudah berdakwah kurang lebih 1.500 tahun. Barangkali dalam benak kita terbersit, mengapa putra Nuh ditakdirkan tidak beriman? Bukankah dia anak seorang rasul, manusia yang memiliki kedudukan spiritual sangat tinggi di sisi Allah. Untuk menjawab ini, penulis perlu menegaskan bahwa persoalan hidayah adalah urusan Yang Maha Kuasa. Jika Allah belum menghendaki, dengan cara apapun kita mengajak orang beriman, tetap saja tidak bergeming. Dalam Al-Qur’an disebutkan,

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya, “Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk.” (Al-Qaṣhaṣ [28]:56)

Barangkali kisah Abu Thalib merupakan contoh paling konkret. Salah satu sosok yang paling menyayangi Nabi Muhammad sekaligus membela jalan dakwahnya hingga akhirnya hayat ini wafat dalam keadaan tidak beriman. Padahal, para sejarawan sepakat bahwa Abu Thalib memiliki jasa begitu besar dalam perjuangan dakwah keponakannya itu. Saat menjelang kewafatan paman tersayang, Rasulullah sempat berbisik di sampingnya,

يَا عَمّ قُلْ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه كَلِمَة أُحَاجّ لَك بِهَا عِنْد اللَّه.

Artinya, “Wahai paman, ucapkanlah lā ilāha illallāh, agar aku kelak bisa membelamu saat menghadap Allah.”

Kisah Kan’an juga menyimpan hikmah bahwa garis keturunan (nasab) tidak menjamin kehidupan seseorang. Putra seorang kiai tidak dijamin kelak juga menjadi kiai, putra seorang ustadz juga tidak dijamin menjadi anak saleh. Sebagai putra nabi juga tidak dijamin meninggal dalam keadaan beriman. Wallahu a’lam.

Muhamad AbrorDosen Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta. Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.

Ahli mengungkap Yahudi Eropa merupakan keturunan Kaukasia dan diduga bukan kelompok yang turut eksodus dari tanah Palestina.

Dalam kisah agama-agama samawi, Yahudi merupakan sebutan untuk Bani Israil yang dibawa Musa eksodus ke tanah yang dijanjikan (Kanaan) usai ditindak Fir'aun.

Setelah bergenerasi-generasi tinggal di gurun karena ingkar pada Musa dan ogah mengambil Kanaan, yang diklaim sebagai Yerusalem hari ini, kaum ini sempat berjaya lewat pemerintahan Raja Daud dan Sulaiman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di era perang salib, kaum Yahudi sempat eksodus lagi ke Eropa dari tanah Palestina akibat perang salib. Lalu benarkah mereka yang ada di Eropa di abad modern adalah keturunan mereka yang eksodus itu?

Dikutip dari ScienceDaily, Hipotesis Rhineland menjadi penjelasan yang paling populer untuk asal-usul orang Yahudi Eropa saat ini.

Dalam skenario tersebut, orang-orang Yahudi yang berasal dari suku Israel-Kanaan disebut meninggalkan Tanah Suci (Yerusalem) menuju Eropa pada abad 7 M setelah penaklukan Palestina oleh kaum Muslim.

Pada awal abad 15, sebuah kelompok yang terdiri dari sekitar 50 ribu orang meninggalkan Jerman, Rhineland, menuju ke timur.

Di sana, mereka mempertahankan endogami (perkawinan dengan kerabat dekat) yang tinggi, dan meskipun ada perang, penganiayaan, penyakit, wabah, dan kesulitan ekonomi, populasi mereka tetap berkembang pesat menjadi sekitar 8 juta orang pada abad ke-20.

Dikarenakan tidak masuk akalnya peristiwa semacam itu, ekspansi yang cepat ini disebut oleh Ahli Genetika Medis Harry Ostrer, Professor Biologi Manusia Gil Atzmon, dan rekan-rekannya sebagai keajaiban.

Berdasarkan Hipotesis Rhineland, orang Yahudi Eropa akan sangat mirip satu sama lain dan akan memiliki leluhur Timur Tengah yang dominan.

Sebuah studi dari Eran Elhaik berjudul 'The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypotheses' pun mencoba membuktikannya.

Tim ahli mengumpulkan data komprehensif dari 1.287 individu dari delapan populasi Yahudi dan 74 populasi non-Yahudi yang memiliki lebih dari 531.315 variasi genetik polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) autosomal.

Data tersebut digunakan Elhaik untuk menghitung beberapa variabel, yakni leluhur, keterkaitan, pencampuran, jarak pembagian alel (pasangan gen), asal-usul geografis, dan pola migrasi.

Hasilnya, studi ini mengidentifikasi tanda leluhur Kaukasia Timur dan Eropa dalam genom Yahudi Eropa bersama dengan genom Timur Tengah yang lebih kecil, tetapi substansial. Hasil ini konsisten dalam menggambarkan leluhur Kaukasia untuk semua orang Yahudi Eropa.

Dikutip dari ensiklopedia Britannica, kaukasia merupakan daerah yang terbentang di antara Laut Hitam (sebelah barat) dan Laut Kaspia (sebelah timur) yang kini masuk wilyah Rusia, Georgia, Azerbaijan, dan Armenia.

Analisis tersebut menunjukkan hubungan genetik yang erat antara Yahudi Eropa dan populasi Kaukasia dan menunjukkan dengan tepat asal-usul biogeografis Yahudi Eropa.

Yakni, di sebelah selatan Khazaria, 560 kilometer dari Samandar, ibu kota Khazaria (kerajaan abad pertengahan di zona Eurasia).

Analisis lebih lanjut menghasilkan keturunan multi-etnis yang kompleks dengan keturunan Kaukasus Timur yang sedikit dominan, keturunan Eropa Selatan dan Timur Tengah yang besar, dan kontribusi Eropa Timur yang kecil.

"Penjelasan yang paling sederhana untuk temuan kami adalah bahwa orang Yahudi Eropa Timur adalah keturunan Yahudi-Khazaria yang ditempa selama berabad-abad di Kaukasia," ujar Elhaik.

"Kehadiran Yahudi di Kaukasia dan kemudian Khazaria tercatat sejak akhir abad sebelum Masehi dan diperkuat karena peningkatan perdagangan di sepanjang Jalur Sutra, kemunduran Yehuda (abad ke-1 hingga ke-7), dan kebangkitan Kristen dan Islam," tandasnya.

Terdapat lima rasul yang memiliki kedudukan istimewa di antara banyaknya para utusan Allah SWT, sehingga mereka diberi gelar ulul azmi. Siapa saja?

Menurut riwayat hadits yang dinukil Imam Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa, jumlah nabi dan rasul yang diutus Allah SWT ada banyak. Disebutkan terdapat 124.000 nabi sementara jumlah rasul sebanyak 313. Di antara mereka ada perbedaan kedudukan sebagaimana yang Allah SWT nyatakan dalam Surat Al-Baqarah ayat 253:

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍۘ مِنْهُمْ مَّنْ كَلَّمَ اللّٰهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجٰتٍۗ

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya: "Para rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Di antara mereka ada yang Allah berbicara (langsung) dengannya dan sebagian lagi Dia tinggikan beberapa derajat."

Haddad Alwi dalam buku Uswatun Hasanah menyebut perbedaan tersebut pada masing-masing derajat mereka. Ada nabi yang fadhil (utama) serta juga nabi yang afdhal (lebih utama).

Nabi dan rasul yang afdhal digolongkan Al-Qur'an sebagai ulul azmi, yakni para nabi yang disifati sebagai pemilik keteguhan atau tekad yang kuat. Rasul ulul azmi berjumlah lima, yaitu Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS, dan Nabi Muhammad SAW.

Kelima rasul ulul azmi bahkan disebut secara khusus dalam Surat Al-Ahzab ayat 7:

وَاِذْ اَخَذْنَا مِنَ النَّبِيّٖنَ مِيْثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُّوْحٍ وَّاِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖوَاَخَذْنَا مِنْهُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًاۙ

Artinya: "(Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi, darimu (Nabi Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh."

Mereka termasuk ulul azmi lantaran punya keteguhan hati yang kuat dalam menjalankan amanat serta tanggung jawab begitu besar sehingga harus bekerja keras. Selain itu, setiap halangan yang mereka hadapi saat menyiarkan ajaran Allah SWT dapat dilalui dengan baik.